Kenaikan tarif cukai hasil tembakau setiap tahun sepertinya perlu ditinjau ulang dengan mempertimbangkan kelanjutan industri yang searah dengan program pemerintah untuk lebih mengutamakan industri yang menyerap tenaga kerja.
Di industri hasil tembakau ini, penyerapan tenaga kerja tidak hanya di sektor industri rokok dan industri lainnya semisal periklanan, transportasi. Tetapi juga perlu dipertimbangkan pula dari sisi sektor pertanian. Selain tembakau, rokok khas Indonesia membutuhkan cengkeh yang banyak dibudidayakan di Indonesia timur.
Tetapi, karena laju kenaikan cukai hasil tembakau yang terus digenjot untuk penerimaan negara, industri hasil tembakau justru tidak berkembang. Belum lagi kampanye negatif atas tembakau yang terus dihembuskan.
Ketidakmampuan daya tahan industri hasil tembakau ini terlihat dari serapan cukai di tengah semester 2019 ini. Data yang dirilis oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai, penerimaan cukai hasil tembakau hingga 27 Juni lalu mencapai Rp62,23 triliun.
Angka ini tentu lebih tinggi dari periode yang sama tahun lalu, yakni naik 15,38%.
Namun, karena target penerimaan cukai dinaikkan 7,15% dari tahun lalu, maka penerimaan negara baru mencapai 39,16%. Itu artinya, sepanjang paruh pertama tahun ini penerimaan cukai hasil tembakau belum mencapai separuh dari target.
Bila industrinya telah menggerahkan seluruh energinya, dan negara terus menggenjot kenaikan penerimaan negara dari cukai hasil tembakau, maka targetnya yang perlu direvisi.
Barangkali negara perlu mencari sumber pendapatan lain. Bukannya membuat industri hasil tembakau seperti sapi perah.