Sampoerna sebagai salah satu perusahaan rokok terbesar di Indonesia, menduduki peringkat pertama penguasa pasar rokok nasional. Sejak tahun 2015 hingga saat ini Sampoerna menguasai pangsa pasar penjualan mencapai 35 persen.
Sampoerna merupakan anak perusahaan PT Philip Morris Indonesia yang berafiliasi dengan perusahaan rokok internasional Philip Moris International Inc. Akuisisi saham Sampoerna oleh Philip Morris di tahun 2005 berdampak besar kepada agresivitas penguasaan pasar dan manuver politik perdagangan Sampoerna di Indonesia.
Tampil sebagai penguasa pasar membuat Sampoerna memiliki legitimasi dalam mengambil peran menentukan arah kebijakan industri rokok nasional. Sampoerna seringkali terlihat menjadi rujukan dan representasi industri rokok bagi pemerintah ketika hendak menelurkan kebijakan.
Pada kasus bergulirnya PP (Peraturan Pemerintah) 109 tahun 2012 misalnya, Sampoerna berperan besar atas disahkannya PP tersebut. Ketika kelompok pabrikan lain berusaha menghadang disahkannya PP tersebut, Sampoerna justru mengambil sikap berbeda dengan menyetujui pengesahan PP 109 tahun 2012.
Pemerintah yang kala itu sedang menarik ulur pengesahan PP 109 tahun 2012, lantas mendapat angin segar dengan setujunya Sampoerna atas peraturan ini. Dikarenakan Sampoerna merupakan pemimpin terbesar pangsa pasar rokok nasional, pemerintah kemudian tanpa ragu langsung mengesahkan PP 109 tahun 2012, pemerintah merasa dengan setujunya Sampoerna maka pemerintah menganggap pabrikan lain sudah diwakilkan oleh Sampoerna.
Intervensi kebijakan industri rokok nasional oleh Sampoerna bisa dilihat lagi dari kemunculan wacana kebijakan simplifikasi tarif cukai dan batasan produksi. Wacana kebijakan yang hendak digulirkan pemerintah ini sama persis dengan permintaan Sampoerna yang menginginkan adanya simplifikasi, utamanya menggabungkan golongan rokok putih mesin dan kretek mesin.
Sampoerna dalam hal simplifikasi ini memiliki kepentingan menjaga eksistensi produk rokok putih di Indonesia. Kebijakan mengenai rokok putih di Indonesia dibedakan dengan kretek, baik dari segi tarif maupun batasan produksi. Dari segi tarif rokok putih dikenakan lebih tinggi, sementara batasan produksinya dibuat lebih rendah.
Hal ini bukan tanpa sebab, pembedaan perlakuan antara rokok putih dan kretek dibuat sebagai proteksi terhadap kretek produk khas hasil tembakau nasional dari ancaman agresivitas rokok putih yang dikuasai oleh perusahaan rokok multinasional.
Sikap Sampoerna yang mendukung simplifikasi rokok putih dan kretek adalah bentuk nyata bahwa Sampoerna sedang menyuarakan kepentingan tuan besar ‘Philip Morris’ yang menjadi induk bisnis mereka. Dan juga keluarnya wacana simplifikasi yang didorong oleh Sampoerna kemudian dengan mulus diduplikasi pemerintah sebagai sebuah wacana kebijakan.
Dengan ini kita dapat melihat betapa mengerikannya Sampoerna dalam mengintervensi kebijakan industri rokok nasional. Kekuatan modal yang besar membuat Sampoerna bukan hanya tampil sebagai pemimpin pasar, tapi juga menjadikan Sampoerna sebagai pengendali pemerintah atas berbagai kebijakan industri rokok nasional. Inilah yang disebut sebagai imprealisme kapitalis global.