Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor diminta untuk berhati-hati dalam menerapkan Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan menyusun perubahannya. Perda KTR di Bogor dinilai menimbulkan dampak pada aspek sosial dan ekonomi.
Peringatan itu disampaikan Bhima Yudhistira Adhinegara, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef). Menurutnya, Perda KTR yang tidak bijaksana akan berimbas langsung pada pertumbuhan ekonomi daerah dan tenaga kerja.
“Rata-rata ritel kecil seperti kelontong yang sangat berpengaruh pada penjualan rokok. Kalau sedikit saja kebijakan berpengaruh pada rokok, mereka akan terkena dampaknya dan dapat meningkatkan angka kemiskinan,” kata Bhima seperti dikutip merdeka.com.
Saat ini, Perda KTR Nomor 12 Tahun 2009 sedang dibahas di DPRD Kota Bogor. Revisi tersebut ditargetkan rampung pada akhir tahun ini. Revisi tersebut diharapkan Bhima Pemkot dan DPRD Kota Bogor memikirkan nasib para pedagang ritel kecil.
“Peraturan yang dibuat janganlah melarang, tetapi harus memberikan solusi bagi mereka yang saat ini menggantungkan hidupnya dari industri rokok. Setiap kebijakan yang berpengaruh terhadap ekonomi, apalagi rakyat kecil harus ada komunikasi intensif,” tegasnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Wakil Ketua Forum Silahturami Pedagang Pasar Bogor, Anam Nasution. Dia mengaku tak setuju dengan rencana larangan pemajangan dan penjualan rokok di pasar tradisional.
“Kalau untuk tidak merokok, saya setuju. Tapi kalau tidak memajang atau menjual, akan ada aktivitas ekonomi yang terpengaruh besar,” katanya.
Kemendagri pun sempat angkat bicara terkait ini. Kurniasih, yang menjabat Direktur Produk hukum Daerah Kementerian Dalam Negeri, mengakui beberapa daerah yang membuat regulasi tanpa mengacu peraturan di atasnya.
“Perda KTR perlu disikapi dengan bijak. Penyelarasan antara aturan yang lebih tinggi dan keinginan daerah untuk mengatur perlu dilakukan. Sehingga, hubungan pusat dan daerah berjalan selaras,” katanya.