Rokok dan junk food mana yang lebih membahayakan kesehatan?
Pertanyaan itu akan sulit dicarikan jawabannya. Tetapi akan lebih mudah bila pertanyaannya diganti, mana yang kamu anggap lebih jahat dan menggerogoti kesehatanmu, rokok atau junk food?
Tentu jawabannya adalah rokok. Penyebabnya adalah kampanye yang mendiskreditkan rokok sebagai sumber dari segala penyakit memang lebih masif ketimbang kampanye yang sama terhadap junk food . Demikian pula berbagai aturan diterbitkan untuk memberikan berbagai batasan pada produk hasil tembakau tersebut. Salah satu aturan yang coba didorong diterapkan kepada rokok ialah kemasan diberi label peringatan bergambar dan, di beberapa negara, bahkan menerapkan aturan kemasan polos pada rokok.
Yang demikian itu, tidak diberlakukan pada produk-produk junk food. Kemasan aneka warna yang mencolok dan maskot kartun lucu tetap digunakan dalam produk-produk junk food. Dari permen, keripik kentang, minuman berkabonasi, nugget, sampai snack-snack yang sebagian besarnya isinya angin.
Padahal junk food, apa pun bentuknya, digemari karena rasanya enak (berkat MSG dan segala variannya) dan memberi pasokan kalori secara instan bagi para penikmatnya. Panganan yang minim nutrisi ini menjadi menyebab utama krisis obesitas global. Jika tidak diatur makanan tinggi kalori ini akan mengancam manusia di masa-masa mendatang.
Ide soal penerapan kemasan polos dan memasan label berbahaya untuk junk food ini dilontarkan oleh Wolfram Schultz, Guru Besar Bidang Kerja Otak di University of Cambridge, Inggris ketika diberi kesempatan pidato atas anugrah The Brain Prize yang diterimanya untuk penelitian di bidang syaraf kepuasan otak manusia.
Dari sudut pandang neurosains, kemasan warna-warni jajanan tidak sehat akan memacu dopamin di otak manusia bersikap toleran pada junk food. Warna yang terang dan gambar-gambar lucu membuat aneka makanan tersebut dianggap tidak berbahaya oleh otak kita. Akibatnya, orang akan berlebihan mengkonsumsi makanan seperti itu.
Dalam kesempatan itu, Schultz mendesak pemerintah mana pun untuk tidak bersikap baik pada produsen jajanan berkalori tinggi. “Ketika dia dikemas menarik, peluangnya mengisi kulkas akan meningkat. Makanan semacam itu akan Anda lihat hampir tiap hari, dan pada akhirnya, akan lebih sering Anda konsumsi. Kebijakan yang paling baik adalah mengelola hasrat manusia untuk mengonsumsi lebh banyak kalori. Manusia tidak butuh kalori sebanyak yang ditawarkan industri saat ini.”
Gambar ilustrasi: Eko Susanto